Senin, Januari 28, 2008

Oww jatinangor

Ketika langkahku kuinjakkan pertama kali di kota ini .bahagia menyelimutiku keindajan dan kesegaran yang kurasakan,Sungguh berbeda dengan Kota kelahiranku yang penuh dengan gemerlap metropolitan dan kecanggihan teknologi dan manusia materialistis yang hidup hanya untuk uang bahkan semua hal diuangkan Benar -Benar sebuah kota Metropolitan.tak seperti kotaku jatinangor dimana keasrian masih sangat terjaga.serta budaya kekeluargaan yang masih kental ..
tapi semua keindahan itu Dulu

Saat globalisme dan liberalisme serta temanyya materialisme datang!!!!
Seakan akan semua keindahan itu larut...
Semua nya seakan sirna
Saat dimana para mahasiswa bercengkrama di kampus sampai larut malam
berdiskusi tentang hidup
Kini berubah jadi acara main!!!!
NONTON dan JALAN_JALAN
oww Jatinangor
Mungkin saat ini kau terluka dan parahnya disebabkan Oleh Anak-anak Bangsa sepertiku
Ketika ini menjadi pemikiran kita
maka pikirkanlah bukan hanya Manusia
tapi dampaknya dan Makhuk lainnya
owww Jatinangor
terlukanya kau bwat ku sedih ,
Enyahlah kau semua kemunafikan dan kebobrokan nafsu Materialisme!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

(MTPP,27-1-08)

MALU AKU MENATAP WAJAH SAUDARAKU PARA PETANI

MALU AKU MENATAP WAJAH SAUDARAKU PARA PETANI

Buah Pena Taufik Ismail
Dibacakan dalam Temu Akbar Alumni PB di Jakarta, 5 Juli 2003

Ketika menatap Indonesia di abad 21 ini
Tampaklah olehku ratusan ribu desa,
Jutaan hektar sawah, ladang, perkebunan, peternakan, perikanan
Di pedalaman, di pantai dan lautan,
Terasa olehku denyut irigasi, pergantian cuaca,
Kemarau dan banjir datang dan pergi
Dan tanah airku yang
Digebrak krisis demi krisis, seperti tak habis habis,
Terpincang-pincang dan sempoyongan

Berjuta wajahmu tampak olehku,
Wahai saudaraku petani, dengan istri dan anakmu,
Garis-garis wajahmu di abad 21 ini
Masih serupa dengan garis-garis wajahmu abad yang lalu,
Garis-garis penderitaan berkepanjangan,
Dan aku malu,
Aku malu kepadamu.

Aku malu kepadamu, wahai saudaraku petani di pedesaan
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani,
Beras yang masuk ke perut kami
harganya kalian subsidi
Sedangkan pakaian, rumah, dan pendidikan anak kalian
Tak pernah kami orang kota
Kenada kalian petani, ganti memberikan subsidi

Petani saudaraku
Aku terpaksa mengaku
Selama ini kami jadikan objek
Belum lagi jadi subjek
Berpuluh-puluh tahun lamanya
Aku malu.

Hasil cucuran keringat kalian berbulan-bulan
Bulir-bulir indah, kuning keemasan
Dipanen dengan hati-hati penuh kesayangan
Dikumpulkan dan ke dalam karung dimasukkan
Tetapi ketika sampai pada masalah penjualan
Kami orang kota
Yang menetapkan harga
Aku malu mengatakan
Ini adalah suatu bentuk penindasan

Dan aku tertegun menyaksikan
Gabah yang kalian bakar itu
Bau asapnya
Merebak ke seantero bangsa

Demikian siklus pengulangan dan pengulangan
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani
Karbohidrat yang setia kalian sediakan
Harganya tak dapat kalian sendiri menentukan
Sedangkan kami orang perkotaan
Bila kami memproduksi sesuatu
Dan bila tentang harga, ada yang mencoba campur tangan
Kami orang kota akan berteriak habis-habisan
Dan mengacungkan tinju, setinggi awan

Kalian seperti bandul yang diayun-ayunkan
Antara swasembada dan tidak swasembada
Antara menghentikan impor beras dengan mengimpor beras
Swasembada tidak swasembada
Menghentikan impor beras mengimpor beras
Bandul yang bingung berayun-ayun
Bandul yang bingung diayun-ayunkan

Petani saudaraku
Aku terpaksa mengaku
Kalian selama mi kami jadikan objek
Belum jadi subjek
Berpuluh-puluh tahun Iamanya
Aku malu

Didalam setiap pemilihan umum dilangsungkan
Kepada kalian janji-janji diumpankan
Tapi sekaligus ke arah kepala kalian
Diacungkan pula tinju ancaman
Dulu oleh pemerintah, kini oleh partai politik
Dan kalian hadapi ini
Antara kesabaran dan kemuakan
Menonton dari kejauhan
DPR yang turun, DPR yang naik
Presiden yang turun dan presiden yang naik
Nasib yang beringsut sangat lamban
Dan tak kudengar dari mulut kalian
Sepatah katapun diucapkan

Saudaraku,
Ditengah krisis ini yang seperti tak habis-habis
Di tengah azab demi azab menimpa bangsa
Kami berdoa semoga yang selama ini jadi objek
Dapatlah kiranya berubah menjadi subjek
Jangka waktunya pastilah lama
Tapi semuanya kita pulangkan
Kepada Tuhan
Ya Tuhan
Tolonglah petani kami
Tolonglah bangsa kami
Amin.

Juli 2003

Minggu, Januari 20, 2008

REsenSi

Neoliberalisme Menumpas Petani; Menyingkap Kejahatan Industri Pangan

Abstraksi

Akhir Juni 2004, Indonesia dikejutkan berita heboh 73.259 ton gula ilegal. Selama lebih dari 2 pekan, media massa nasional tak bosan mencari jawaban siapa pemilik gula itu, dan bagaimana bisa 'barang' penuh sengketa itu masuk ke Gudang Bea Cukai?!? Sebagai anggota WTO yang patuh, Indonesia menjadi korban petaka industri pertanian neoliberal. Ancaman di balik masuknya gula impor seperti di atas niscaya terjadi pada komoditi pertanian lainnya. Di tahun 1998, pasar domestik Indonesia diserbu 7,2 juta ton beras impor. Bersama WTO, Indonesia merosot dari negara net eksportir pangan menjadi net importir pangan serta menjungkirkan balik predikat swasembada beras tahun 1984.
"Gula itu pahit," tukas penulis buku ini. Padahal kecap lidah tak berbohong, lalu siapa menipu kita? Pemerintah dan lembaga-lembaga internasional jawabnya. Atas sponsor IMF dan Bank Dunia, sejak Februari dan September 1998, pemerintah meliberalisasi perdagangan beras dan gula dengan membabat bea masuk hingga 0%. Pasar domestik lantas diserbu gula dan beras impor dengan harga miring. Pilihan konsumen memang banyak, tapi sebesar bea itu juga pilihan petani kita: NOL! Coba bayangkan kalau hak hidup Anda dikebiri sedemikian rupa?
Para antek neoliberal beralibi, kalau harga beras dan gula murah, kebutuhan masyarakat akan tercukupi dan ekonomi kita akan kuat. Benarkah? Kenyataannya, anjloknya harga beras dan gula justru memukul kehidupan para petani, dan merongrong ketahanan pangan kita. Amburadulnya kebijakan pangan nasional tak lepas dari campur tangan agen-agen neoliberalisme. Atas tekanan Bank Dunia dan IMF, pemerintah juga meliberalisasi secara radikal sektor pertanian yang dihuni jutaan petani gurem tanpa tunjangan infrastruktur yang cukup. Buku ini merangkai titik-titik hulu hingga hilir siasat penaklukan petani, seraya mengungkap penipuan besar-besaran oleh pemerintah dengan lembaga-lembaga internasional sebagai promotornya

Green Chemistry

GREEN CHEMISTRY

Kita boleh sedikit bersyukur bahwa perkembangan dunia kimia lingkungan yang disebut ‘green chemistry’ sudah berkembang cukup pesat. Dalam beberapa dekade terakhir misalny, Green Chemistry Institute of the American Chemical Society terus mendukung proyek-proyek yang peduli lingkungan. Salah satu proyek yang cukup berhasil adalah Carnegie Mellon University’s for Green Oxidation Chemistry. Mereka berhasil mengembangkan katalis yang bekerja seperti enzim, katalis tersebut dinamakan tetra-amido-macrocyclic ligand activators (TAML).

TAML yang bekerja bersama hidrogen peroksida (H2O2) mampu meniru kerja enzim tubuh manusia untuk mengurai toksin yang berbahaya seperti pestisida, pewarna tekstil, dan detergen. TAML juga mampu menurunkan tingkat polusi bau, menjernihkan air, hingga bersifat disinfektan dengan membunuh bakteri setingkat anthrax.

Saat TAML larut dalam air, hidrogen peroksida mengaktifkan TAML dengan menggantikan ligan H2O dengan H2O2 pada gugus TAML. Kemudian, H2O2 yang tidak stabil terurai kembali menjadi H2O menyisakan atom oksigen. Oksigen ini saling tolak menolak dengan atom besi (Fe) yang terdapat pada pusat gugus TAML. Interaksi inilah yang membuat TAML aktif dan mampu bekerja sebagaimana enzim ataupun scavenger radikal bebas yang dalam hal ini polutan. (Untuk detailnya dapat dilihat pada www.cmu.edu/greenchemistry)

TAML diyakini dapat merevolusi penggunaan klorin sebagai anti-polutan yang sudah banyak digunakan masyarakat dan dunia industri. Pada tingkat laboratorium, TAML dianggap cukup menjanjikan, tetapi pada tingkat industri lain lagi permasalahannya. TAML masih harus diuji coba kembali untuk mengobservasi efeknya pada lingkungan bila digunakan dalam jumlah yang tidak sedikit. Jangan sampai TAML justru menjadi polutan baru yang tidak teratasi lagi. Tingkat aktivasi TAML yang cukup tinggi juga ditakuti dapat merusak ekosistem yang ada sebab bakteri setingkat anthrax (Bacillus atropheus) mampu dibunuh TAML dalam 15 menit. Selain itu, biaya adalah salah satu hal yang perlu dipertimbangkan, baik biaya sintesis TAML hingga proses revolusi industri pun dapat menarik reaksi keras dari kalangan industri. Mengganti suatu aplikasi kimia pada industri tidak mudah dan murah.

Aplikasi Green Chemistry ini pun masih menyisakan suatu permasalahan tersendiri. Masyarakat yang tidak pikir panjang dengan mudah asal buang limbah dengan angan bahwa TAML dapat mengatasinya. Beberapa kalangan berikhtiar bahwa TAML dapat menjernihkan air yang tercemar dan setelah itu masyarakat dunia harus dapat berkomitmen untuk lebih cinta lingkungan. Namun, dapatkah itu terjadi?

Disadur dari: J. Collins, Terrence and Chip Walter. “Little Green Molecules”. Scientific American Maret 2006: 62-69

DreaMerz

DreaMerz